PEKANBARU(pekanbarupos.co)-Di usia 66 tahun, ketika sebagian orang memilih menikmati masa senja dengan bersandar di kursi goyang atau berbincang di teras rumah, Pak Joko justru masih setia berkeliling kota dengan motor tuanya.
Setiap pagi, ia sudah bersiap sejak matahari baru naik, menyiapkan roti, sayur, dan saus racikannya. Bukan untuk dirinya, tetapi untuk pelanggan yang telah mengenal sosoknya selama puluhan tahun sebagai penjual hamburger dan sandwich keliling.
Padahal, sebelum dunia roti dan panggangan menjadi kesehariannya, Pak Joko adalah karyawan perusahaan minyak, bekerja di bawah PT Caltex (PT Tri Patra).
Masa pensiunnya justru menjadi awal perjalanan baru perjalanan yang sudah berusia 26 tahun. Perjalanan yang membuatnya berpindah dari satu pasar kaget ke pasar kaget lainnya, menjemput rezeki dengan cara yang ia sebut sebagai “ikhtiar yang bikin hati tenang.”
Tapi ada satu tempat yang selalu membuatnya lebih betah, simpang Jalan Potong Parit Indah, menuju kompleks Purna MTQ Bancah Laweh Pekanbaru.
“Pagi itu enak, pembeli ramah-ramah. Sambil masak bisa sambil ngobrol,” katanya sambil tertawa kecil, Jumat (14/11/2025).
Pak Joko berasal dari Pulau Jawa. Lalu merantau ke Sumatera, persisnya ke Pekanbaru sejak tahun 1979. Ia membesarkan keluarga di sini. Anak-anaknya kini sudah berumah tangga. Ada yang menikah dengan orang Jawa, ada yang Batak, ada juga yang Minang.
“Pokoknya keluarga kami sudah nasional lah,” ujarnya sambil tersenyum.
Tangannya tetap cekatan membelah roti, merapikan sayur, menata daging, kemudian membakarnya dengan hati-hati.
Di tengah riuh kendaraan yang melintas, Pak Joko sempat bercerita dengan nada penuh harap.
“In syaa Allah Ramadhan nanti, istri saya mau umroh,” katanya.
“Lho, bapak tidak ikut?” tanyaku.
Ia tersenyum, datar tapi hangat.
“Giliran… Mudah-mudahan ada rezeki saya menyusul.”
Aku membaca ada sesuatu yang ia simpan, mungkin soal biaya, mungkin soal kondisi tapi ia tidak mengeluh. Ia hanya bekerja lebih tekun, seolah setiap roti yang ia panggang adalah sebuah doa.
Namun, percakapan kami tiba-tiba berbelok. Di sela suara panggangan, ia bertanya lirih, “Lah, wong sudah 32 tahun memimpin, masih saja ada yang menolak beliau jadi Pahlawan…”
Rupanya Pak Joko sedang bicara tentang penolakan terhadap gelar Pahlawan Nasional untuk Presiden Soeharto. Nada suaranya bukan marah, tapi lebih seperti seseorang yang merasa dekat dengan masa lalu bangsanya.
“Ya pak, beliau pelaku sejarah, malah ditolak,” jawabku singkat.
Pak Joko mengangguk, matanya jauh menerawang, seakan ingat masa mudanya saat bekerja di perusahaan minyak pada era itu.
Namun percakapan berhenti tiba-tiba seorang pengendara menepi, ingin membeli sandwich. Seperti biasa, Pak Joko mengucap salam, tersenyum, lalu langsung bergerak lincah menyiapkan pesanan.
Dua porsi pesananku pun selesai. “Tiga puluh ribu, pak,” katanya pelan.
Aku membayar, lalu menyalami tangannya. Ada kehangatan yang sulit dijelaskan.
Di rentang umur 66 tahun, di tengah keramaian kota, di atas motor tua yang setia menemaninya, Pak Joko bukan hanya menjual makanan. Ia menjual keteguhan. Ia menjual harapan. Ia mengajarkan bahwa hidup harus terus dilanjutkan, sesulit apa pun, selama kita masih bisa memberi manfaat.
Semoga langkah istri Pak Joko menuju Tanah Suci dimudahkan.
Semoga Pak Joko diberi umur panjang dan sehat, agar suatu hari nanti ia pun menyusul berangkat ke Baitullah membawa doa-doa yang selama ini tertahan di antara roti, sayur, dan senyum kecilnya setiap pagi.(amr)
Pekanbaru Pos Riau