
Oleh : Khalisa Lubnaifa Hanasya
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya
Di tengah derasnya arus globalisasi dan digitalisasi, batas-batas identitas semakin kabur. Anak muda Indonesia masa kini, yang tergolong Generasi Z, tumbuh dalam dunia tanpa sekat – dimana budaya Barat, Korea, dan berbagai pengaruh global lainnya begitu akrab dalam keseharian mereka.
Tanpa disadari, dalam proses itu, lahir pertanyaan eksistensial seperti, “Siapa saya di dunia yang seluas ini?”. Ini adalah tantangan besar yang perlu kita semua hadapi – menjaga identitas nasional tetap kuat di tengah perubahan zaman.
Secara psikologis, manusia memiliki kebutuhan dasar untuk merasa menjadi bagian dari suatu kelompok. Teori Social Identity yang dikembangkan oleh Henri Tajfel menyatakan bahwa identitas sosial yang berarti adanya rasa bangga menjadi bagian dari kelompok tertentu dan membentuk sebagian besar dari konsep diri kita.
Ketika identitas sosial melemah, individu cenderung rentan mengalami kebingungan identitas, rasa terasing, bahkan kecemasan sosial. Dalam konteks ini, Pancasila berperan penting tidak hanya sebagai dasar negara, tetapi juga sebagai jangkar identitas sosial bangsa Indonesia.
Pancasila menyatukan keberagaman suku, agama, budaya, dan bahasa dalam satu payung besar kebangsaan. Sila ketiga yang berbunyi, “Persatuan Indonesia”, menjadi pengingat bahwa di balik segala perbedaan, terdapat nilai kebersamaan yang harus dirawat.
Pancasila tidak membatasi ekspresi budaya, namun memberikan kerangka etis agar ekspresi itu tetap berakar kepada nilai-nilai kebangsaan. Di tengah derasnya arus budaya luar, Pancasila mengajarkan kita untuk tetap terbuka tanpa kehilangan jati diri.
Sayangnya, fenomena di masa kini menunjukkan adanya jarak antara generasi muda dengan Pancasila. Banyak yang menganggap Pancasila sekadar hafalan lima sila tanpa adanya makna konkret dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, di tengah tantangan globalisasi, Pancasila justru semakin relevan.
Pancasila sebagai dasar negara memberikan pedoman agar kita para generasi muda dapat menjadi bagian dari dunia global tanpa memisahkan diri dari akar nasional.
Dari sudut pandang psikologi, memiliki identitas sosial yang kuat berdampak positif pada kesejahteraan mental. Rasa bangga menjadi bagian dari bangsa mendorong self-esteem yang lebih stabil dan memperkuat sense of belonging, kebutuhan dasar manusia untuk merasa diterima dan bermakna dalam kelompoknya.
Tanpa identitas nasional yang kokoh, generasi muda berisiko mengalami alienasi – perasaan terputus dari kelompok dan kehilangan makna sosial.
Lalu, bagaimana cara menanamkan kembali Pancasila dalam jiwa generasi muda khususnya generasi Z?
Pertama, pendidikan karakter berbasis nilai Pancasila perlu diperbarui. Pendidikan tidak lagi hanya sebatas menghafal sila-sila, melainkan juga menghidupkan nilai-nilainya dalam konteks kekinian, seperti menghargai perbedaan, memperjuangkan keadilan sosial, dan mengedepankan musyawarah dalam menyelesaikan konflik.
Pancasila harus dihadirkan dalam tindakan nyata, bukan hanya dalam teks pidato pada upacara.
Kedua, pemanfaatan media digital menjadi kunci utama. Generasi Z adalah generasi digital native, yang menghabiskan sebagian besar waktunya di dunia maya. Membumikan Pancasila dapat dilakukan melalui konten-konten kreatif seperti video pendek, kampanye sosial, hingga gerakan komunitas yang mengangkat isu persatuan dan kemanusiaan.
Menjadikan Pancasila “keren” di mata generasi muda bukanlah hal yang mustahil, asalkan penyajiannya kreatif dan relevan dengan dunia mereka.
Ketiga, penting untuk memberikan ruang aktualisasi kepada generasi muda. Membiarkan para generasi muda untuk terlibat dalam proyek-proyek sosial, kegiatan lintas budaya, dan gerakan solidaritas akan menciptakan nilai-nilai Pancasila hidup dalam tindakan nyata.
Ketika generasi muda merasa telah menjadi bagian dari perubahan positif, rasa memiliki terhadap bangsa akan tumbuh secara alami.
Pancasila bukan hanya konsep usang yang telah tertinggal dalam buku sejarah. Tetapi merupakan fondasi dinamis yang menuntun kita untuk tetap manusiawi di tengah dunia yang cepat berubah.
Generasi Z tidak perlu memilih antara menjadi warga dunia atau menjadi warga negara Indonesia. Karena kita dapat menjadi keduanya – global dalam cara berpikir, namun lokal dalam nilai dan hati.
Di tengah gempuran perubahan, penting bagi kita semua untuk bertanya kepada diri sendiri, “Siapa saya? Dan dari mana saya berasal?”. Dalam menjawab pertanyaan itu, kita akan menemukan bahwa Pancasila bukan hanya milik masa lalu, melainkan petunjuk untuk menavigasi masa depan.(rls/yus)
Pekanbaru Pos Riau