Senin , 7 Oktober 2024

Sepanggung dengan J-Rock, Kunni Masrohanti Pukau Penonton dengan Puisi Kritik

PEKANBARU (pekanbarupos.co) — Penyaiir perempuan asal Riau yang juga Ketua Penyair Perempuan Indonesia (PPI) Kunni Masrohanti menghebohkan panggung hiburan yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) KPU, Senin (20/5/2024) di Laman Bujang Mat Syam, Purna MTQ Pekanbaru. Kunni membuat heboh panggung dengan membacakan puisi kritik terhadap situasi yang ada di Riau saat ini. “Saya membuat puisi ini dua hari yang lalu,” kata Kunni saat ditanya MC di atas panggung usai membacakan puisi tersebut.

“Semoga puisi yang Saya buat dan bacakan ini sedikit bisa mewakili keluhan masyarakat terhadap kondisi Riau saat ini, baik kondisi jalan, pendidikan, sosial, budaya dan kehidupan masyarakat, khususnya di pedalaman. Sekaligus harapan-harapan kepada para calon pemimpin Riau nanti,” kata Kunni lagi.

Panggung hiburan tersebut digelar sempena peluncuran tahapan Pilgubri Riau Tahun 2024. Selain dihadiri Komisioner KPU Riau, Forkopimda Riau, juga dihadiri Komisioner KPU pusat dan beberapa calon Gubernur dan Wakil Gubernur. Selain Kunni, panggung hiburan itu juga diramaikan artis Band J-Rocks, Olan Fran dan Tiwi Troya.

Inilah puisi karya Kunni Masrohanti yang dibacakannya langsung malam itu.

Bukan Cerita Negeri Dongeng
Karya: Kunni Masrohanti9

Suatu hari di musim hujan, mendengarkan cerita para pengukur jalan
Suatu waktu bertemu, mendengarkan juga cerita para burung hantu

Tapi ini bukan cerita itu
Bukan cerita negeri dongeng yang ungu
Melainkan cerita dari orang-orang di pesisir laut hingga mereka yang berladang di lereng-lereng bukit barisan

Suatu waktu bertemu
Orang-orang itu bercerita sambil  setengah mengadu

“Di negeriku, orang sibuk mengukur bayang sendiri, bicara sendiri,
kadang kepada batu-batu atau kepada tanah yang mengubur separuh kaki saat berjalan di atasnya
Jauh, dari hulu paling kiri sampai ke batas Taram, dari Batu Sasak hingga Tanjung Permai, di sana damai kami tersadai.
Atau dari ujung paling Subayang, Pangkalan indarung yang murung,  Pangkalan serai yang malang, jauh ke ujung, sepanjang musim menghadap ombak bergulung bebatuan di musim hujan, atau mengusung piyau di musim kemarau.
Atau kisah dari cipang paling hulu, Orang-orang menuju Pintu Kuari dengan berjalan kaki, tanpa sinyal dan listrik yang hanya setengah mati, sedang di sana syafruddin prawiranegara pernah menjemput janjii.”

Suatu hari bertemu mereka di pulau paling kecil, ujung Bengkalis yang abrasi hingga Pulau rupat yang kalap. Di sana, pasir-pasir ditambang bebas
Izin tak izin mereka yang tuan izinkan terus menggali
Laut kami hilang nyali
Nelayan hilang kelas
Ikan-ikan berkemas, hasil tangkapan kian melepas
Pulau-pulau kecil terancam sakit
Bahkan hilang karena janji investasi yang lebih menggigit

Sekali waktu bertemu, burung-burung tebarkan isu, jauh dari gunung sahilan hingga tempat Datuk Pucuk seluruh kenegerian, mereka bercerita setengah malu sambil bersemangat melampiaskan  ragu,

“Ini tanah kami, ulayat yang kami jaga dengan hati, hutan rimbanya hidup kami, sungai dan ikan-ikannya menjadi daging di tubuh anak-anak kami, mengapa kau datang merampas sebegitu berani, mengapa tiba-tiba tuan yang lain menguasai. Menangkap Bongku Sakai karena menanam ubi di tanah sendiri, tapi membiarkan para penambang Peti di hulu hingga hilir singingi sebegjtu berani, siapa pemilik mantra di sebaliknya. lepaskan Bongku. Ini tanah ulayat kami. Lepaskan.”

Teriak seperti itu terus saja ada,  tapi sering dianggap tidak ada, tidak perlu di dengar, tak perlu diambil tau, tak perlu
Toh di sana, orang-orang berdasi tetap berkuasa, tanah ulayat dianggap milik bersama, rakyat hanya melihat, melarat, sedang korporasi semakin berkuasa.

Tuan,
Ini bukan cerita negeri dongeng yang ungu  Tapi kisah yang kau tau terjadi di tanahmu
Dari waktu ke waktu

Riau yang kaya, di atas minyak, di bawah minyak, di tengah-tengah minyak,
Seharusnya jalan ini terbuat dari emas, bukan ranggas dengan lubang di sana- sini yang ganas
Harusnya tidak ada rumah sekolah satu kelas dengan punggung murid berhadap-hadapan
Talang Mamak di rimba Inhu, Duanu di Concong Dalam, atau Sakai yang kian asing di rumahnya sendiri, bingung menziarahi makam sendiri, sedang sang Batin kehilangan tuahnya
Ninik Mamak yang agung pun mulai menjadi tamak

Tuan,
Di Kota ini tidak ada rumah yang terbuat dari kayu, seperti di Kajang, Baduy,  Mboru Niang di Waerebo atau Bena di ujung Ngada, tapi mengapa hutan kita semakin hilang, para penguasanya pula keluar memangsa udin sekeluarga di Kuala Kampar

O, timang ditimang sayang. orang-orang mengadu, bercerita seperti di negeri dongeng
Tuan kami lupa diri
Tak malu, berkali-kali, berganti-ganti masuk jeruji, korupsi menjadi jati diri

Perlukah aku bacakan mantra kebikaksanaan

“Huum batu hum, batu di batu, batu berkajang dengan.langit, tangkuplah tuan negeri, tangkup berkali-kali, damai tuah negeri yang sakti. Puah”

Tuan, di lain waktu,
Sekali bertemu, mereka bercerita sambil mengumbar tawa yang hambar, ada doa dan mimpi yang dangkal di wajahnya, sedang haru tak bisa sembunyi dari matanya, harap kepada tuan penghala arah, kemana ngeri ini hendak dibawa

Katanya,
Ini tanah lahir kami,
Kami merindukan damai di negeri sendiri,
Kami menunggu tuan puan yang sejati,
yang mendekap dengan hati saat menemui kami,
yang mendengar pedih kami
Sungguh-sungguh peduli kami yang kecil, yang jauh, yang sakit, yang yatim, miskin papa kedana
Damaikan kami rakyat jelata, pimpinlah kami dengan cinta, timang kami dengan kebenaran, akal budi dan kemuliaan, jadilah contoh dan teladan
Hilangkan haus kami yang lama menunggu hujan, sedang kemarau tak kunjung parau
Tiba Tuan kami idamkan

Sekali waktu, aku juga ingin mendengar cerita dari Tuan yang beriya-iya jujur pada diri, membangun negeri dan setia pada mantra sejati

“Padamu negeri kami mengabdi
Bagimu negeri inilah jiwa raga kami”

Pekanbaru, 18 Mei 2024

Kunni Masrohanti adalah seniman, sastrawan, budayawan dan perempuan aktivis. Founder Komunitas Seni Budaya Rumah Sunting, Ketua Wanita Penulis Indonesia Riau (2018-sekarang). Ketua Penyair Perempuan Indonesia  (2018-sekarang).

Karya bukunya, Sunting (puisi, 2011), Perempuan Bulan (puisi, 2016), Calung Penyukat (puis, 2019), Kotau (puisi, 2020), Dan Perempuan yang Kau Telan Airmatanya (puisi, 2021), puluhan antologi puisi (puisi, 2011-sekarang), Harmonisasi Masyarakat Alam Rimbang Baling (refleksi kebudayaan, 2018), Sekelumit Sejarah Kerajaan Gunung Sahilan (sejarah dan budaya, 2018), Cipang Warisan Leluhur yang Nyata (refleksi kebudayaan, 2019).

Penghargaan yang pernah diraihnya, Anugerah Sagang 2019 sebagai budayawan, Anugerah Kemendikbudristek Indonesia melalui Balai Bahasa Provinsi Riau (2020) sebagai sastrawan, Anugerah kebudayaan  Dinas Kebudayaan Provinsi Riau (2021) sebagai Tokoh Budaya kategori Pelaku Setia,  Penerima Anugerah Sagang 2015 bersama Komunitas Seni Rumah Sunting (2015), Anugerah Baiduri dari Perempuan Riau Bangkit Foundation (PRBF) tahun 2015,  Anugerah kebudayaan Pemprov Riau Tahun 2014  kategori Pemangku Seni Tradisi.(rls)
.

About Linda Agustini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *