Minggu , 18 Mei 2025
Oplus_131072

Coping Mechanism, Kunci Menghadapi Stres dan Tekanan di Masa Kuliah

Oleh Rihadatul Aysi Daviani
Mahasiswa Psikologi Universitas Brawijaya

Masa remaja hingga dewasa awal sering dianggap sebagai periode transisi yang paling sulit dalam kehidupan manusia.

Tuntutan akademik, tekanan dari lingkungan sosial, dan pencarian identitas sering membuat mahasiswa, sebagai perwakilan utama kelompok ini, mengalami tekanan emosional yang signifikan. Kerap kali, ketidakmampuan untuk menangani

Stres dengan baik bisa menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti depresi atau kelelahan emosional. Di saat-saat seperti ini, kemampuan untuk mengembangkan coping mechanism, atau strategi dalam mengelola stres, menjadi hal yang sangat vital untuk mempertahankan keseimbangan mental.

Sayangnya, banyak mahasiswa yang belum menyadari betapa pentingnya menciptakan dan memiliki coping mechanism yang sehat, padahal fase ini merupakan pondasi penting untuk ketahanan psikologis mereka di masa depan.

Memasuki dunia perkuliahan berarti memasuki lingkungan yang dinamis, tidak hanya di ranah akademik tetapi juga dalam kehidupan sosial dan pribadi. Berbagai rintangan yang dihadapi mahasiswa dapat berdampak pada kesehatan mental mereka.

Pertama, tekanan akademik. Dengan tumpukan tugas, tuntutan skripsi, ujian, dan persaingan akademik, mahasiswa sering kali merasa tertekan untuk mencapai hasil yang sempurna. Ketidakmampuan dalam mengelola tekanan semacam ini dapat memicu perasaan kurang mampu, kecemasan, dan bahkan keputusasaan.

Kedua, tuntutan sosial dan ekspektasi dari keluarga. Banyak mahasiswa merasa terbebani oleh harapan keluarga untuk meraih prestasi dan segera lulus. Ketika individu merasakan tekanan dari ekspektasi tersebut, perasaan bersalah sering kali muncul.

Selain itu, pencarian identitas diri juga menjadi tantangan yang signifikan bagi mahasiswa. Usia dewasa awal adalah fase di mana pencarian jati diri, kepercayaan, dan impian masa depan berlangsung.

Ketidakpastian dalam menentukan arah hidup selama periode ini dapat menimbulkan kecemasan. Kesepian dan homesick juga sangat berarti, terutama bagi mahasiswa yang jauh dari keluarga.

Kurangnya dukungan emosional secara langsung dapat meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental. Berbagai tantangan ini mengharuskan mahasiswa untuk memiliki strategi dalam mengelola stres secara sehat, di mana salah satu kuncinya adalah pengembangan coping mechanism yang efektif. Lalu, apa sebenarnya coping mechanism itu dan mengapa hal ini dianggap penting?

Coping mechanism merujuk pada strategi atau metode yang digunakan oleh individu untuk mengatasi tekanan, stres, atau situasi yang sulit. Bagi mahasiswa, coping mechanism berfungsi sebagai “alat bantu” dalam menjaga keseimbangan mental di tengah berbagai tuntutan yang datang silih berganti.

Coping mechanism yang diterapkan tentunya harus melibatkan metode yang sehat, seperti mencari dukungan sosial, berolahraga, bermeditasi, atau mengatur waktu dengan baik.

Strategi ini membantu individu meredam stres tanpa menciptakan masalah baru. Dengan membangun coping mechanism yang sehat, mahasiswa tidak hanya dapat bertahan di tengah tekanan, tetapi juga belajar untuk berkembang menjadi individu yang lebih siap dalam menghadapi tantangan di masa depan.

Beberapa pendekatan untuk mengatasi stres yang bisa diterapkan antara lain, pertama, manajemen waktu yang efektif. Dengan menyusun prioritas, membuat rencana belajar, serta membagi waktu untuk istirahat secara seimbang, akan membantu mengurangi tekanan akademis.

Kedua, mencari dukungan sosial. Berkumpul dan berbicara dengan keluarga, sahabat, atau kelompok di kampus bisa memberikan rasa nyaman secara emosional. Dukungan dari orang lain dapat memperkuat ketahanan mental saat menghadapi tantangan. Ketiga, lakukan praktik mindfulness dan meditasi.

Teknik sederhana seperti bernapas dalam-dalam, meditasi singkat, atau mindfulness, bisa membantu merilekskan pikiran, mengurangi kecemasan, serta meningkatkan konsentrasi. Keempat, rutin berolahraga.

Mengikuti aktivitas fisik seperti berlari, yoga, atau sekadar berjalan, dapat meningkatkan produksi hormon endorfin, yang berfungsi sebagai “penawar alami” untuk stres. Kelima, menulis di jurnal atau buku harian. Mencurahkan pikiran dan perasaan ke dalam tulisan dapat membantu mahasiswa memahami emosi mereka dengan lebih baik, serta menemukan solusi dari permasalahan yang sedang dihadapi. Terakhir, mencari bantuan profesional.

Jika beban stres terasa terlalu berat dan berkepanjangan, tidak ada salahnya untuk mendapatkan bantuan dari psikolog atau konselor. Banyak universitas yang menawarkan layanan konsultasi secara gratis bagi mahasiswanya.

Dengan mengimplementasikan beberapa teknik pengelolaan stres ini, mahasiswa tidak hanya lebih mampu menghadapi tantangan harian, tetapi juga mengembangkan pola hidup sehat yang bermanfaat dalam jangka panjang.

Menghadapi tantangan di fase awal dewasa, mahasiswa perlu membangun coping mechanism yang positif. Dengan menerapkan strategi yang tepat, stres dapat dikelola dengan lebih baik, sehingga mahasiswa bisa menjaga kesehatan mental dan lebih siap menghadapi masa depan dengan ketahanan yang lebih besar. (yus/rls)

About Syaifullah Syaifullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *