Kamis , 10 Juli 2025
Oplus_131072

Ancaman Pseudoscience Akibat Kepercayaan tak Teruji dalam Masyarakat Masa Kini

Oleh : Kezya Najwaya Anabila
Mahasiswi Psikologi Universitas Brawijaya

Kita tentu sudah tidak asing lagi dengan berbagai bentuk ramalan seperti zodiak,
pembacaan garis tangan, kartu tarot, astrologi, telekinesis, grafologi, dan sejenisnya.

Berbagai bentuk kepercayaan yang tersebar di masyarakat ini dikenal sebagai pseudoscience atau ilmu semu. Sebelum membahas lebih dalam

mengenai pseudosains secara umum, mari kita tinjau terlebih dahulu beberapa contoh pseudosains dalam bidang psikologi yang masih banyak diyakini oleh masyarakat.

Salah satu contoh yang cukup populer adalah praktik membaca kartu tarot untuk meramal jalannya kehidupan seseorang.

Popularitas media sosial turut mendorong penyebaran praktik ini, bahkan hingga menawarkan jasa pembacaan kartu tarot secara online.

Hal yang menjadi sorotan adalah,
mengapa masih banyak orang mempercayai pseudoscience? Padahal, keyakinan terhadap hal-hal yang tidak terbukti secara ilmiah ini berpotensi menimbulkan dampak negatif bagi
individu.

Pseudosains, atau sering disebut sebagai ilmu semu, merupakan bentuk pengetahuan yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Meski sering mengklaim sebagai bagian dari sains, pseudosains sejatinya tidak mengikuti prosedur ilmiah yang sah, seperti metode pengujian, observasi sistematis, atau verifikasi.

Dalam bidang psikologi, terdapat beberapa contoh pseudosains, seperti keyakinan bahwa golongan darah dapat menentukan kepribadian seseorang.

Klaim ini menyatakan bahwa sifat manusia bisa diketahui hanya dari tipe
darahnya (A, B, AB, atau O), padahal tidak ada bukti ilmiah yang kuat mendukung hal tersebut.

Contoh lainnya adalah grafologi, yang mengklaim bisa membaca kepribadian
seseorang hanya dari tulisan tangannya, serta frenologi, ilmu kuno yang percaya bahwa bentuk dan tonjolan pada tengkorak seseorang bisa menunjukkan karakter dan kemampuan kognitifnya.

Apa perbedaan utama antara sains dan pseudosains? Sains menggunakan pendekatan ilmiah yang mencakup hipotesis, eksperimen, observasi, dan verifikasi, sehingga hasilnya
dapat diuji dan dibuktikan secara objektif.

Sebaliknya, pseudosains mengabaikan
prinsip-prinsip ilmiah dan tidak memiliki dasar bukti yang bisa diuji ulang atau diverifikasi.

Sains juga bersifat terbuka terhadap kritik dan terus berkembang seiring waktu, sedangkan pseudosains cenderung menolak kritik dan stagnan, mempertahankan klaim yang sama
meskipun sudah terbukti keliru.

Mengapa mempercayai pseudosains bisa berbahaya? Menurut saya, bahayanya bagi individu terletak pada ketidakakuratan informasi yang digunakan dalam kehidupan
sehari-hari.

Misalnya, menilai kepribadian seseorang hanya dari golongan darahnya atau tulisan tangannya bisa menimbulkan kesalahpahaman dan penilaian yang tidak valid.

Contohnya, jika seseorang mengalami cedera tangan dan harus menulis dengan tangan lain, lalu dinilai memiliki kepribadian berbeda hanya karena perubahan gaya tulisannya, tentu
itu tidak masuk akal. Bahaya lainnya adalah individu bisa menjadi enggan menerima pengetahuan ilmiah yang terbukti, karena sudah terlanjur mempercayai klaim-klaim tak
berdasar.

Dampak lebih luas dari kepercayaan terhadap pseudosains adalah terhambatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan kesehatan publik. Ini disebabkan oleh penolakan terhadap sains (science denialism), yang kerap terjadi karena kurangnya kemampuan berpikir kritis dan menurunnya kepercayaan pada lembaga resmi.

Lalu, mengapa pseudosains masih bertahan hingga kini? Menurut saya, salah satu alasannya adalah karena masyarakat cenderung tertarik pada hal-hal yang bersifat mistis atau memberikan harapan emosional.

Dari sisi psikologis, individu yang sedang dalam kondisi tertekan atau memiliki harapan tinggi namun merasa putus asa, cenderung mencari pegangan dalam bentuk pseudosains karena memberikan ilusi harapan.

Contohnya, seseorang yang sangat ingin sembuh dari penyakit bisa saja lebih mempercayai ramalan astrologi atau metode alternatif yang tidak terbukti, karena terdorong oleh rasa putus asa.

Oleh karena itu, menurut saya penting bagi kita untuk selalu bersikap kritis terhadap informasi yang kita terima. Kita perlu mempertanyakan keabsahan sumber dan bukti dari suatu klaim sebelum mempercayainya.

Lebih dari sekadar menjaga akurasi informasi, hal ini juga menyangkut tanggung jawab terhadap kesehatan dan masa depan kita bersama
sebagai masyarakat yang rasional.(rls/yus)

About Syaifullah Syaifullah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *